Minggu, 05 Juni 2011

Energi Alternatif yang Ramah Lingkungan

Pemanasan global (global warming) yang terjadi saat ini telah banyak membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia, seperti menyebabkan iklim yang tidak stabil, sehingga berpengaruh pada musim
tanam bagi komoditas-komoditas tanaman pertanian. Replanning atau perencanaan ulang/kembali perlu dilakukan demi untuk memperbaharui first planning yang telah dicanangkan. Masalah ini (global warming) telah menjadi masalah yang sangat mengancam bagi kehidupan manusia di muka bumi yang salah satunya disebabkan emisi gas efek rumah kaca akibat pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam yang juga merupakan sumberdaya yang terbatas oleh karena itu, telah menyebabkan tuntutan ke pencarian sumber energy yang lebih baik dan ramah lingkungan dan bersifat dapat diperbaharui.

Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana saja selama tersedia limbah yang akan diolah dan cukup air. Di Negara-negara maju perkembangan teknologi biogas sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya. Di Indonesia prospek teknologi biogas cukup baik sejalan dengan program pemerintah tentang peningkatan kebutuhan susu dan swasembada daging tahun 2010, yang cukup mungkin penyediaan bahan baku biogas. Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan karena produksi biogas peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangan dunia peternakan sapi di Indonesia. Disamping itu, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), kenaikan harga LPG (Liquified Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Pemanfaatan limbah peternakan khusus kotoran sapi menjadi biogas mendukung Konsep Zero Waste, sehingga system pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat tercapai.

Santi (2006) dalam Elifianti (2009) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas sebagai berikut : (1) mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara (bau); (2) memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga, (3) mengurangi biaya pengeluaraan peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.

Sulacman (2008) jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilikan jenis dan kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7 ekor babi atau 400 ekor ayam; pola pemeliharaan ternak berpengaruh terhadap ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal yang mana kotoran ternak lebih mudah didapat bila ternak dipelihara dengan cara dikandangkan. Ketersediaan lahan berpengaruh terhadap lahan yang dibutuhkan untuk membangun biogas skala kecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7 m x 2 m), sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan lahan 40 m2 (8 m x 5 m).

Provinsi Maluku dengan luas sekitar ±712.469,69 Km2 secara geografis terdiri atas ±658.294,69 Km2 adalah perairan dan ±54.185 Km2 adalah daratan (7,6 %), dengan jumlah Kabupaten 9, dan 2 Kota, dengan 906 desa difinitif dan 73 Kecamatan. Dengan potensi peternakan tahun 2007, untuk ternak sapi 79.578 ekor, kerbau 24.689 ekor, kuda 9.775 ekor, kambing 163.560 ekor, domba 15.261 ekor babi 96.003 ekor, ayam buras 2.172.837 ekor, ayam ras 1.200 ekor dan itik 254.731 ekor. Untuk tahun 2008, jumlah populasi ternak sapi sebesar 74.654 ekor, kerbau 26.012 ekor, kambing 175.152 ekor, domba 17.521 ekor, kuda 10.599 ekor, babi 154.302 ekor, ayam buras 2.346.013 ekor dan itik 303.312 ekor (sumber : Distan, Promal, 2008).

Anonymous (2006) mengatakan bahwa potensi kelompok ternak dan jumlah kotoran ternak sebagai bahan penghasil gas dan pupuk organik adalah ternak ruminansia besar : 59.918.000 ton KTS/Thn (74,72%), ternak ruminansia kecil: 5,937.000 ton KTS/Thn (7,40%), ternak kuda dan babi : 5,914.000 ton KTS/Thn (7,38%), ayam ras, buras dan itik : 8.423.000 ton KTS/Thn (10,50%). Deptan (2006) umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata-rata 1-5 ekor sapi dengan lokasi yang tersebar tidak berkelompok , sehingga penanganan limbah baik itu limbah padat, cair maupun gas seperti feces dan urin maupun sisa pakan dibuang ke lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran. Pengolahan limbah secara sederhana hanya dengan pemanfaatannya sebagai pupuk organik. Sapi dengan bobot badan 450 Kg mengahsilkan limbah /feces dan urin ±25 Kg/hari dan apabila tidak dilakukan penanganan secara baik dan benar maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air serta penyebaran penyakit menular. Menurut Bacracharya,dkk (1985) menyatakan bahwa komponen penyusun biogas adalah metan (CH4) : 50 - 70%, Karbondioksida (CO2) 30 - 40%, Air (H20) 0,3%, Hidrogen Sulfide (H2S) sedikit sekali, Nitrogen (N2) 1 - 2%, dan Hidrogen 5 – 10%.

Satu rumah tangga peternakan (RTP) apabila mempunyai 2 ekor sapi akan diperoleh biodigester dengan volume 2 m3 cukup untuk menghasilkan biogas yang setara dengan 1,23 liter minyak tanah per hari. Potensi biogas dan pupuk organik tersebut mempunyai nilai ekonomi sebagai berikut :
(1) Biogas, yang setara dengan minyak tanah sejumlah 4.000 juta liter, dengan tingkat petani peternak sebesar Rp.11 triliun per tahun, dengan asumsi harga minyak tanah di tingkat pengecer di pedesaan sebesar Rp.2.750/liter;

(2) Pupuk organik, dengan jumlah 32 juta ton per tahun dengan nilai Rp.11,2 triliun per tahun (asumsi harga pupuk organik Rp.350/kg) dan dapat dipergunakan pada lahan sawah/kebun seluas 6,4 juta ha (dengan asumsi 1 ha dipupuk dengan 5 ton pupuk organik per tahun). Nilai ekonomi dari 2 jenis produk samping asal ternak tersebut biogas dan pupuk organik tersebut sebesar Rp. 22,2 triliun per tahun.

Dari uraian di atas maka energy alternatif dengan pemanfaatan limbah dari kotoran ternak (feces, urin dan sisa pakan) sangat menguntungkan, baik bagi peternak itu sendiri maupun dalam mendukung program pemerintah menciptakan lingkungan yang bersih dari emisi gas maupun pencemaran lingkungan oleh limbah cair, padat yang akhirnya sekaligus mendukung program pemerintah dalam hal ini Ditjen Peternakan/Kementrian Pertanian RI, dalam Program P2SDS (Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Potong Tahun 2010-2014). *) Staf Dinas Pertanian Promal, 2010.

Sumber: http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=29066

2 komentar: